KekayaanBiodiversity Indonesia Belum Dimanfaatkan Secara Maksimal. redaksi. 25 November 2021. Kategori : Berita. Asosiasi terumbu karang dan ikan. FOTO: DARILAUT.ID. Darilaut - Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat tinggi, namun belum dimanfaatkan secara maksimal. Oleh sebab itu penelitian terkait peningkatan nilai tambah dari
Salahsatu ancaman yang ditemukan dalam pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan laut di Indonesia adalah illegal fishing. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, kegiatan pencurian ikan ini membawa kerugian ratusan triliun setiap tahunnya bagi Indonesia. Pencurian ikan ini dapat terjadi karena kurangnya SDM dan sarana prasarana
memiliki sumber daya alam yang melimpah di sektor kelautan dan kemaritiman. Dengan luas lautan sekitar 62,9 % dari seluruh wilayah Indonesia, laut kita menyimpan 37% spesies sumber daya hayati dunia, 17,75% terumbu karang dunia, 30% hutan bakau, dan padang lamun. Laut Indonesia juga menyimpan sejumlah energi terbarukan seperti panas air laut, gelombang laut, arus laut, serta sumber daya energi tidak terbarukan seperti minyak dan gas bumi. Diperkirakan, potensi ini bisa mencapai US$ miliar atau Rp19,6 triliun per tahun KKP, 2020. Dengan potensi kekayaan laut seperti itu, sektor kelautan dan kemaritiman kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, seharusnya bisa menjadi pendorong perekonomian dan menjaga ketahanan pangan secara nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. “Namun sayangnya, potensi tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Hal ini dapat kita lihat dari kontribusi sektor kelautan dan perikanan yang baru menyumbang sekitar 3,7% terhadap Produk Domestik Bruto,” kata Pontjo pada FGD bertema Penguasaan dan Pengembangan Teknologi dalam Rangka Penguatan Sektor Kelautan dan Kemaritiman, Jumat 27/11/2020. Angka tersebut masih dikatagorikan rendah jika dibandingkan dengan negara lain yang memiliki laut lebih kecil seperti Jepang, Korea Selatan, maupun Vietnam yang memiliki kontribuasi sektor kelautan antara 48% sampai dengan 57% terhadap GDP. Mengapa sektor kelautan dan kemaritiman belum begitu berkembang padahal pemerintah telah mencanangkan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan menempatkan lautan sebagai masa depan bangsa? Indonesia juga sudah menerapkan pengembangan ekonomi kelautan yang berkelanjutan Sustainable Ocean Economy dengan konsep ekonomi biru blue economy, dalam mengelola sumber daya kelautan dan kemaritiman untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dengan tetap menjamin keberlanjutannya dan kelestarian lingkungan. Menurut Pontjo, belum optimalnya pengelolaan laut kita dan belum berkembangnya ekonomi kelautan yang berkelanjutan antara lain disebabkan pertama kendala kultural yang tercermin dari rendahnya perhatian masyarakat terhadap dunia kelautan/kemaritiman. Sebagian besar masyarakat Indonesia hingga kini masih kuat terbelenggu pada budaya agraris yang berorientasi daratan. Kedua, pembangunan kelautan kurang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi Iptek. Dan ketiga, tidak menerapkan pendekatan supply chain system secara terpadu, kurang inklusif dan tidak ramah lingkungan. “Penyebab lain yang cukup mendasar mengapa ekonomi kelautan belum berkembang dengan baik, yaitu masih kecilnya jumlah pelaku usaha di sektor ini. Tentu menjadi pertanyaan, mengapa dunia usaha tidak banyak yang tertarik untuk ikut mengembangkan ekonomi kelautan?” lanjut Pontjo. Padahal, banyak bidang usaha atau industri berbasis kelautan/kemaritiman yang berpotensi untuk dapat berkembang dengan baik, seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, Industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi, parawisata bahari, angkutan laut, jasa perdagangan, industri maritim, bangunan kelautan konstruksi dan rekayasa, dan lain-lainnya. Dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan kemaritiman, Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan terutama soal pemberantasan praktik penangkapan ikan dengan cara Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing IUUF yang semakin mengkhawatirkan. Praktik IUUF sangat menghambat pembangunan perikanan baik secara nasional maupun internasional. Dampak praktik IUUF telah mengakibatkan terganggunya pengelolaan pemanfaatan perikanan yang berkelanjutan dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi banyak negara berkembang. Pontjo mengingatkan bahwa harus disadari sektor kelautan dan kemaritiman mempunyai daya saing tinggi sehingga butuh intervensi teknologi. Cina, menurut data World’s Top Exports 2020 berhasil menjadi negara eksportir terbesar ikan laut dunia, karena memanfaatkan pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi Iptek merupakan hal yang mendasar dan mendesak dalam pengelolaan sumber daya kelautan/kemaritiman yang berkesinambungan. Tanpa penguasaan teknologi, mustahil Indonesia akan mampu membangun kemandirian dan meningkatkan daya saing dalam mengembangkan ekonomi kelautan. Dewasa ini, pengetahuan dan teknologi sudah menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam pertumbuhan dan kemandirian ekonomi. Kekuatan suatu bangsa diukur dari kemampuan Iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing. Karenanya, kita harus terus berupaya meningkatkan kapasitas Iptek bangsa ini yang memang masih jauh ketinggalan. Dalam mengejar ketertinggalan teknologi, termasuk dalam pengembangan sektor kelautan dan kemaritiman, sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi/lembaga riset, industri/dunia usaha, dan masyarakat sangatlah penting. Dalam kolaborasi kelembagaan ini, jelas Pontjo, dunia usaha/industri berperan sebagai pendorong, pengembang, pengguna, sekaligus memasarkan hasil riset dan inovasi teknologi. Peran strategis inilah yang harus selalu disadari dan diperhatikan oleh dunia usaha kita. Tanpa peran dunia usaha, inovasi teknologi tidak mungkin akan berkembang. Oleh karena itu, pengusahanya harus siap, baik dalam jumlah maupun dalam kualitasnya. “Namun sayangnya, jumlah pengusaha di sektor kelautan/kemaritiman masih sangat kecil. Jumlah seluruh pengusaha di Indonesia saat ini baru sekitar 3% dari jumlah penduduk. Jumlah ini masih sangat kecil jika dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara maju,” tegas Pontjo. Inilah tantangan besar dunia usaha kita dewasa ini yang harus dijawab. Mengapa bangsa ini terutama pengusahanya seakan-akan enggan untuk turun ke laut, padahal di masa lalu, bangsa Indonesia pernah mengalami kejayaan bahari yang mencapai puncaknya pada jaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Semangat bahari bangsa Indonesia diakui Pontjo semakin melemah, bahkan seakan-akan telah kehilangan jatidirinya sebagai bangsa maritim. Penyebabnya antara lain pertama upaya sistematis kolonial kala itu yang telah mengubah cara pandang bangsa Indonesia dari bangsa bahari menjadi bangsa yang enggan turun ke laut. Jangan-jangan upaya sistematis seperti ini masih berlangsung sampai saat ini yang dilakukan oleh kekuatan eksternal baik oleh entitas negara maupun non-negara. Kedua adanya pergeseran orientasi dari laut ke daratan dalam waktu sangat lama sehingga kita kehilangan jati diri sebagai bangsa bahari Dan ketiga, sektor pendidikan belum mendapatkan perhatian yang maksimal sebagai wahana sosialisasi pembangunan kelautan/kemaritiman. “Agar kita mampu menjadikan laut sebagai masa depan bangsa dan memajukan ekonomi kelautan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, menurut hemat saya, selain menempatkan teknologi sebagai faktor determinan, ada hal penting lainnya yang juga harus dilakukan yaitu menghidupkan kembali visi dan semangat bahari bangsa ini,” tutup Pontjo. FGD yang digelar kerjasama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahun Indonesia AIPI, dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia HIPMI, dan Media Kompas tersebut menghadirkan narasumber antara lain Prof Ir I Ketut Aria Pria Utama, Pakar Ilmu Perkapalan ITS, AIPI, Prof Dr Ir. Indra Jaya, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Amiril Mukminin, BPP HIPMI, Dr Ir Arifin Rudiyanto, Deputi bidang Kemaritiman dan SDA Bappenas, Dedi Supriadi Adhuri, dan Antropolog Maritim. */fs
PenyertaanModal Pemerintah Daerah adalah pengalihan kepemilikan barang milik daerah yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang
- Indonesia merupakan negara maritim. Karena sebagian besar wilayah Indonesia merupakan perairan yang luas. Kondisi itu menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki potensi besar di bidang lautan. Dengan kondisi laut yang begitu luas berpotensi juga timbulannya permasalahan yang terjadi di laut buku Mewujudkan Poros Maritim Dunia 2015 karya Andi Iqbal Burhanuddin, sejarah menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara maritim dengan kekayaan sumber daya alam kelautan yang melimpah. Sehingga selama beberapa abad lamanya, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan peradaban di wilayah Nusantara memiliki kekuatan ekonomi dan politik dengan berbasis pada sumber daya kelautan. Baca juga Indonesia sebagai Negara Maritim, Apa Maksudnya?Oleh karena itu penguatan Indonesia menuju negara maritim yang kuat diperlukan berbagai terobosan untuk mendayagunakan sumber daya kelautan secara optimal. Namun, harus disadari bahwa mengelola sumber daya kelautan memang tidak semudah membalikan telapak tangan. Permasalahan kelautan di Indonesia Isu dan masalah yang harus dikelola sangat kompleks, sehingga membutuhkan pengelolaan terhadap dinamika yang ada. Berikut beberapa permasalahan laut di Indonesia Ilegal fishing Ilegal fishing atau penangkapan atau mencuri ikan secara ilegal melanggar hukum marak terjadi di wilayah kelautan Indonesia. Baca juga 13 Desember 1957, Deklarasi Juanda Jadi Titik Balik Kelautan Indonesia
. 178 422 336 447 435 483 24 380